Para pengasong paham Sepilis tak lebih dari
budak-budak kuffar yang ikut dalam gerbong imprealisme Barat untuk
menaklukkan negeri-negeri Muslim. Keberadaannya tak hanya mengancam umat
Islam, tapi juga bangsa ini secara keseluruhan.
Oleh: Artawijaya (Editor Pustaka Al-Kautsar Jakarta)
Istilah "Kelompok moderat" versi AS dan sekutu-sekutunya, yang harus dirangkul dan dijadikan partner dalam memerangi apa yang mereka sebut "ekstremisme Islam" dan "Radikalisme Islam" adalah mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk memasarkan ide-ide tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis). Inilah tiga ide besar yang sedang dipasarkan oleh AS dan sekutunya, dengan bantuan para pengasong di negeri-negeri Muslim yang menjadi kaki tangannya, diantaranya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dimotori oleh Siti Musdah Mulia, Freedom Institute yang dimotori oleh Luthfi Asy-Syaukanie, the Wahid Institute yang dimotori oleh Yeni Abdurrahman Wahid, Setara Institute yang dimotori oleh Hendardi, International Center for Islam and Pluralism yang dimotori oleh M. Syafi'i Anwar, Komunitas Salihara yang dimotori oleh Goenawan Mohammad dan Guntur Romli, LibforAll Foundation yang dimotori oleh C. Holland Taylor (orang yang seringkali mengajak tokoh-tokoh sekular Indonesia ke Israel), dan masih banyak lagi LSM-LSM komprador yang bekerja sebagai "babu asing" dan menjalankan aksinya untuk merusak akidah dan keyakinan umat Islam. Inilah organisasi "tadah hujan" yang bekerja demi kucuran dollar, merusak dan melakukan subversi terhadap Islam.
Secara representatif, keberadaan mereka dapat terlihat jelas dalam organisasi payung bernama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Aliansi yang terdiri dari beragam keyakinan dan agama ini, hanyalah kedok untuk mem-back-up kelompok sesat Ahmadiyah agar tidak dibubarkan oleh pemerintah. Mereka juga menjadikan Pancasila sebagai tameng untuk melindungi penodaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada 1 Juni 2008, kelompok ini menggelar acara "Apel Siaga Pancasila" di Monumen Nasional yang berujung pada bentrokan dengan Komando Laskar Islam.
Sebelum apel siaga itu dilakukan kelompok AKKBB telah membuat pra-kondisi dengan menebar iklan provokatif di berbagai media massa nasional dengan tagline besar, "Mari Selamatkan Indonesia Kita". Dalam iklan tersebut tertera 289 nama tokoh yang mendukung gerakan mereka, diantaranya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Azyumardi Azra, Syafi'i Ma'arif, Siti Musdah Mulia, Rizal Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, Dawam Rahardjo, dan lain sebagainya. Sebagian tokoh ini juga kemudian terlibat dalam permohonan uji materi UU No.1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi ini kelompok liberal keok, karena MK menolak gugatan mereka.
Aroma keterlibatan asing dalam gugatan yang diajukan kelompok liberal terkait UU Pencehan Penodaan Agama itu tercium, tatkala mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan saksi dari Amerika, W Cole Durham. Durham adalah pakar hak asasi manusia dari Harvard University. Upaya mendatangkan saksi ahli dari Amerika mendapat tentangan keras Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Ketua PBNU saat itu, KH. Hasyim Muzadi menyatakan bahwa kehadiran saksi dari AS itu makin membuktikan adanya skenario internasional untuk mengacaukan kehidupan beragama di tanah air.
KH. Hasyim Muzadi yang juga menjadi saksi ahli yang diajukan oleh umat Islam dengan tegas menolak pakar HAM yang diajukan oleh kelompok liberal."Mahkamah kita adalah Mahkamah Konstitusi nasional bukan mahkamah internasional. Ukurannya tidak sama dengan asing,"tegas Kiai Hasyim yang juga menjabat sebagai Sekjend Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).
Hasyim Muzadi menegaskan, UU No.1 PNPS/1965 adalah upaya mengantisipasi penodaan agama, agar kehidupan beragama bisa berlangsung tertib dan harmonis, tanpa adanya pelecehan dan penodaan terhadap keyakinan tertentu. Hasyim juga menduga gugatan terhadap UU ini ditunggangi oleh kelompok atheis yang memang sudah lama ingin bangkit kembali di negeri ini. Dengan tegas Hasyim menyatakan bahwa gugatan tersebut bukan menguntungkan kepentingan umat beragama di Indonesia, tapi justru akan membuat pertentangan di kalangan masyarakat. "Ini hanya menguntungkan atheisme melalui neolib dalam memanfaatkan demokrasi yang over dosis," tegasnya. HAM kata Hasyim, diukur menurut ukuran konstitusi, bukan menurut pendapat orang asing.
Selain mengajukan permohonan uji materi UU Tentang Pencegahan Penodaan Agama, kelompok liberal dengan dukungan aktivis perempuan dan transgender (homo, lesbi, biseksual) bergerilya menolak Qanun Jinayat yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Daarussalam (NAD) pada 14 September 2009. UU Qanun Jinayat mengatur hukuman badan terkait perjudian, khamar, khalwat (berduaan bukan mahram), zina, liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian), dan lain-lain. Mereka bergerilya ke Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan qanun tersebut, dan melakukan berbagai aksi demo dan kampanye penolakan. Mereka menggalang dukungan organisasi HAM internasional (Human Right Watch).
Anehnya, penolakan terhadap Qanun Jinayat justru tidak datang dari rakyat Aceh sendiri, melainkan datang dari kelompok liberal dan transgender yang berada di luar Aceh. Istilahnya, Qanunnya berlaku di Aceh, eh yang menolak para gay, homo, lesbi, biseksual, dan gerombolan liberal di Surabaya. Dengan dukungan internasional, mereka melakukan kampanye, "An International Campaign for Sexual and Reproductive Right" (Kampanye Internasional untuk Hak Seksual dan Reproduksi) di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. Acara ini diselenggarakan oleh NGO internasional the Coalition for Sexual and Bodily Right in Muslim Societies (CSBR), yang didukung oleh gabungan dari 20 LSM pengusung virus Sepilis, diantaranya LSM Gaya Nusantara yang merupakan tempat bernaungnya para gay, homo, dan lesbi.
Seminar dan kampanye tersebut dihadiri oleh Guntur Romli, aktivis AKKBB yang juga aktif di Jurnal Perempuan dan Komunitas Salihara. Guntur adalah orang yang memiliki syahwat tinggi untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Syahwat tersebut ia lampiaskan dengan menggalang segelintir begundal, homo, gay, dan lesbi untuk berteriak-teriak di Bunderan HI dalam kampanye "Indonesia Tanpa FPI". Selain Guntur Romli, tokoh Jaringan Islam Liberal yang sekarang mencari nafkah di Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla, juga nampak dalam kerumunan kecil tersebut.
Kampanye kaum liberal dan mereka yang mengalami disorienteasi seksual tersebut tak lebih dari rasa frustasi mereka karena tak juga laku memasarkan paham Sepilis di Indonesia. Bahkan, karena tak juga mampu menjadi pengasong yang sukses memasarkan paham sesat tersebut, beberapa funding asing mulai mengurangi bahkan menghentikan transfer dollar kepada kelompok tersebut. Karena itu, tak heran jika Ulil Abshar Abdalla berpindah ke ketiak Partai Demokrat, partai yang beberapa kadernya diduga menjadi mesin ATM pengeruk uang rakyat. Di partai yang sudah "babak belur" karena kasus korupsi dan kebohongan publik ini, Ulil yang dulu menjadi pengasong di JIL, kini menjabat sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan. Entah atas dasar apa, Demokrat menempatkan dirinya di posisi tersebut. Apakah partai yang dibidani oleh SBY ini ingin Ulil membuat strategi dan kebijakan untuk memasarkan liberalisasi di Indonesia? Wallahu a'lam. (bersambung)
Source http://networkedblogs.com/ uRIZM
Oleh: Artawijaya (Editor Pustaka Al-Kautsar Jakarta)
Istilah "Kelompok moderat" versi AS dan sekutu-sekutunya, yang harus dirangkul dan dijadikan partner dalam memerangi apa yang mereka sebut "ekstremisme Islam" dan "Radikalisme Islam" adalah mereka yang mempunyai komitmen kuat untuk memasarkan ide-ide tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (Sepilis). Inilah tiga ide besar yang sedang dipasarkan oleh AS dan sekutunya, dengan bantuan para pengasong di negeri-negeri Muslim yang menjadi kaki tangannya, diantaranya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil Abshar Abdalla, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dimotori oleh Siti Musdah Mulia, Freedom Institute yang dimotori oleh Luthfi Asy-Syaukanie, the Wahid Institute yang dimotori oleh Yeni Abdurrahman Wahid, Setara Institute yang dimotori oleh Hendardi, International Center for Islam and Pluralism yang dimotori oleh M. Syafi'i Anwar, Komunitas Salihara yang dimotori oleh Goenawan Mohammad dan Guntur Romli, LibforAll Foundation yang dimotori oleh C. Holland Taylor (orang yang seringkali mengajak tokoh-tokoh sekular Indonesia ke Israel), dan masih banyak lagi LSM-LSM komprador yang bekerja sebagai "babu asing" dan menjalankan aksinya untuk merusak akidah dan keyakinan umat Islam. Inilah organisasi "tadah hujan" yang bekerja demi kucuran dollar, merusak dan melakukan subversi terhadap Islam.
Secara representatif, keberadaan mereka dapat terlihat jelas dalam organisasi payung bernama Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Aliansi yang terdiri dari beragam keyakinan dan agama ini, hanyalah kedok untuk mem-back-up kelompok sesat Ahmadiyah agar tidak dibubarkan oleh pemerintah. Mereka juga menjadikan Pancasila sebagai tameng untuk melindungi penodaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap ajaran-ajaran Islam. Pada 1 Juni 2008, kelompok ini menggelar acara "Apel Siaga Pancasila" di Monumen Nasional yang berujung pada bentrokan dengan Komando Laskar Islam.
Sebelum apel siaga itu dilakukan kelompok AKKBB telah membuat pra-kondisi dengan menebar iklan provokatif di berbagai media massa nasional dengan tagline besar, "Mari Selamatkan Indonesia Kita". Dalam iklan tersebut tertera 289 nama tokoh yang mendukung gerakan mereka, diantaranya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Azyumardi Azra, Syafi'i Ma'arif, Siti Musdah Mulia, Rizal Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, Dawam Rahardjo, dan lain sebagainya. Sebagian tokoh ini juga kemudian terlibat dalam permohonan uji materi UU No.1 PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam uji materi yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi ini kelompok liberal keok, karena MK menolak gugatan mereka.
Aroma keterlibatan asing dalam gugatan yang diajukan kelompok liberal terkait UU Pencehan Penodaan Agama itu tercium, tatkala mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan saksi dari Amerika, W Cole Durham. Durham adalah pakar hak asasi manusia dari Harvard University. Upaya mendatangkan saksi ahli dari Amerika mendapat tentangan keras Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Ketua PBNU saat itu, KH. Hasyim Muzadi menyatakan bahwa kehadiran saksi dari AS itu makin membuktikan adanya skenario internasional untuk mengacaukan kehidupan beragama di tanah air.
KH. Hasyim Muzadi yang juga menjadi saksi ahli yang diajukan oleh umat Islam dengan tegas menolak pakar HAM yang diajukan oleh kelompok liberal."Mahkamah kita adalah Mahkamah Konstitusi nasional bukan mahkamah internasional. Ukurannya tidak sama dengan asing,"tegas Kiai Hasyim yang juga menjabat sebagai Sekjend Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) dan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).
Hasyim Muzadi menegaskan, UU No.1 PNPS/1965 adalah upaya mengantisipasi penodaan agama, agar kehidupan beragama bisa berlangsung tertib dan harmonis, tanpa adanya pelecehan dan penodaan terhadap keyakinan tertentu. Hasyim juga menduga gugatan terhadap UU ini ditunggangi oleh kelompok atheis yang memang sudah lama ingin bangkit kembali di negeri ini. Dengan tegas Hasyim menyatakan bahwa gugatan tersebut bukan menguntungkan kepentingan umat beragama di Indonesia, tapi justru akan membuat pertentangan di kalangan masyarakat. "Ini hanya menguntungkan atheisme melalui neolib dalam memanfaatkan demokrasi yang over dosis," tegasnya. HAM kata Hasyim, diukur menurut ukuran konstitusi, bukan menurut pendapat orang asing.
Selain mengajukan permohonan uji materi UU Tentang Pencegahan Penodaan Agama, kelompok liberal dengan dukungan aktivis perempuan dan transgender (homo, lesbi, biseksual) bergerilya menolak Qanun Jinayat yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Daarussalam (NAD) pada 14 September 2009. UU Qanun Jinayat mengatur hukuman badan terkait perjudian, khamar, khalwat (berduaan bukan mahram), zina, liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian), dan lain-lain. Mereka bergerilya ke Departemen Dalam Negeri untuk membatalkan qanun tersebut, dan melakukan berbagai aksi demo dan kampanye penolakan. Mereka menggalang dukungan organisasi HAM internasional (Human Right Watch).
Anehnya, penolakan terhadap Qanun Jinayat justru tidak datang dari rakyat Aceh sendiri, melainkan datang dari kelompok liberal dan transgender yang berada di luar Aceh. Istilahnya, Qanunnya berlaku di Aceh, eh yang menolak para gay, homo, lesbi, biseksual, dan gerombolan liberal di Surabaya. Dengan dukungan internasional, mereka melakukan kampanye, "An International Campaign for Sexual and Reproductive Right" (Kampanye Internasional untuk Hak Seksual dan Reproduksi) di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. Acara ini diselenggarakan oleh NGO internasional the Coalition for Sexual and Bodily Right in Muslim Societies (CSBR), yang didukung oleh gabungan dari 20 LSM pengusung virus Sepilis, diantaranya LSM Gaya Nusantara yang merupakan tempat bernaungnya para gay, homo, dan lesbi.
Seminar dan kampanye tersebut dihadiri oleh Guntur Romli, aktivis AKKBB yang juga aktif di Jurnal Perempuan dan Komunitas Salihara. Guntur adalah orang yang memiliki syahwat tinggi untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Syahwat tersebut ia lampiaskan dengan menggalang segelintir begundal, homo, gay, dan lesbi untuk berteriak-teriak di Bunderan HI dalam kampanye "Indonesia Tanpa FPI". Selain Guntur Romli, tokoh Jaringan Islam Liberal yang sekarang mencari nafkah di Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla, juga nampak dalam kerumunan kecil tersebut.
Kampanye kaum liberal dan mereka yang mengalami disorienteasi seksual tersebut tak lebih dari rasa frustasi mereka karena tak juga laku memasarkan paham Sepilis di Indonesia. Bahkan, karena tak juga mampu menjadi pengasong yang sukses memasarkan paham sesat tersebut, beberapa funding asing mulai mengurangi bahkan menghentikan transfer dollar kepada kelompok tersebut. Karena itu, tak heran jika Ulil Abshar Abdalla berpindah ke ketiak Partai Demokrat, partai yang beberapa kadernya diduga menjadi mesin ATM pengeruk uang rakyat. Di partai yang sudah "babak belur" karena kasus korupsi dan kebohongan publik ini, Ulil yang dulu menjadi pengasong di JIL, kini menjabat sebagai Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan. Entah atas dasar apa, Demokrat menempatkan dirinya di posisi tersebut. Apakah partai yang dibidani oleh SBY ini ingin Ulil membuat strategi dan kebijakan untuk memasarkan liberalisasi di Indonesia? Wallahu a'lam. (bersambung)
Source http://networkedblogs.com/
0 comments:
Post a Comment